Film Agak Laen: Horor Komedi yang Merangkul Nostalgia
“IH GILA KALI KAU! Mana ada aku mengarah ke sana lah.”
Haloooooow~!
Senang sekali bisa mencoret satu lagi daftar tontonan di tahun ini! Juga mencoret bucket list untuk pesan night cinema di weekdays — yang sebenarnya terhitung weekend karena tanggal merah, hiks.
Judul filmnya Agak Laen. Agak lain memang ya pemilihan judulnya. Fresh from the (er)nest, baru aja menetas awal Februari kemarin bro. Momennya bertepatan sama bulan kasih sayang (katanya), pun imlek dan juga pemilu. Cocok ditonton untuk mempererat kekeluargaan, sekaligus melepas penat dan stress lihat perseteruan halar hilir soal pilihan tanggal 14 nanti.
Genre film yang ditulis dan diarahkan oleh Muhadkly Acho ini adalah horor komedi. Tepuk tangan apresiasi sebesar-besarnya untuk seluruh tim produksi yang berani menyuguhkan varian horor di antara film seram berbau agama — yang bikin takut ibadah tapi justru laris di pasaran xixi. Gue sangat jarang nonton horor, tapi sependek rajin melihat update film di medsos, kayaknya jarang deh film Indonesia yang bawa genre ini. Cmiiw, yes. Makanya, penyebutan genre “horor komedi” ini yang jadi salah satu alasan besar kenapa gue pengin nonton.
Alasan besar selanjutnya adalah premis film Agak Laen yang berpusat pada empat sahabat, pasar malam, rumah hantu, dan mayat. Kombinasi yang bikin nostalgia dengan bumbu misteri ala-ala persahabatan Lima Sekawan, gitu. Ada Oki (Oki Rengga), Bene (Benedion Rajagukguk), Jegel (Indra Jegel), dan Boris (Boris Bokir) yang punya usaha rumah hantu di sebuah pasar malam. Udah sepi peminat, eh tiba-tiba ada pengunjung yang meninggal di situ. Udah jatuh, ketimpa tangga pulak! Bener deh kata fulan, hari apes gak ada di kalender.
Premisnya gitu doang. Sederhana, tapi terasa dekat sama masyarakat karena membawa pasar malam misalnya. Atau karena karakternya merupakan masyarakat biasa yang berjuang keras untuk mengais rezeki. Saking sederhananya, orang jadi penasaran bagaimana kelanjutan, penyelesaian, dan selanjutnya selanjutnya. Sebelum masuk teater, penonton cukup tahu bahwa geng Batak di Agak Laen mengalami kondisi darurat yang super mendadak: ada orang meninggal di rumah hantu mereka yang baru direnovasi. Yang penonton perlu gali adalah, bagaimana empat orang ini menghadapinya di tengah kebingungan hakiki.
Oh iya, meskipun darah Batak mengalir deras di tubuh empat cast di atas, mereka punya watak yang jelas berbeda. Seru deh nonton sambil mengamati perbedaan itu. Gimana otak mereka ngasih solusi atas masalah, cara mereka berargumen, apa yang mereka lakukan kalau marah, dan gimana cara mereka rekonsiliasi setelahnya. Sabi nih diangkat jadi masalah penelitian. Eh aduh, merinding dikit.
Personally, gue suka gimana film ini berani menghadirkan posibilitas atau kemungkinan yang bisa banget terjadi di rumah hantu. Atau di mana pun di dunia. Mungkin sebetulnya pernah terpikir juga waktu kita dateng ke wahana di pasar malam, atau wahana bermain kayak Dufan. Pertanyaan “gimana kalau” yang terdengar remeh, ternyata bisa jadi kisah bagus kalau digarap dengan maksimal. Salut!
Meskipun satu dua alurnya bisa ketebak tipis-tipis, gue sangat enjoy nontonnya. Enjoy ketawa, enjoy gregetan, dan enjoy juga ngeliat visualisasi pasar malam yang ternyata suasananya cukup ngangenin. Editing-nya apik. Kontras sama film horor gelap yang bikin mata memicing waktu nonton, suasana malam yang dominan di Agak Laen justru bisa tergambar dengan jelas dan terang. Meskipun ada beberapa scene yang gelap juga sih, misalnya sewaktu cast lagi ngobrol pakai make up seram. Tapi overall gak terlalu mengganggu sih, imo.
Gue juga sangat menikmati sinematografinya (bener gak sih?). Gue akan pointing out beberapa scene yang menurut gue keren dari sisi shoot dan editing-nya. Tentu aja dari kacamata orang awam yang buta sama tetek bengek kamera. Tipis-tipis aja ya sob, supaya kitorang gak spoiler, nih!
Pertama, waktu opening (plis jangan telat masuk bioskop!!). Terus scene waktu kamera menyorot LED rumah hantu — transisinya juara, sobat! Habis itu, scene ketika korban lari di rumah hantu, scene waktu Indah Permatasari duduk dari tidur, dan scene yang berkaitan dengan air (ups, apa hayo??). Wrrrwrrrrr super sekaliiiii!
Dari semuanya, gue paling suka sama suasana film ini. Agak Laen bisa memberikan kesempatan besar ke penonton untuk ngerasa simpati sama protagonisnya. Saking simpatinya, otak penonton jadi ikutan mikir seolah-olah mereka adalah orang di film. Tapi jujur ngeri sih, karena solusi yang dipikirin penonton KEMUNGKINAN BESAR menjurus ke arah kriminal. Atau gue aja yang berpikir demikian… (merinding dengan gaya pick me girl). Nah, mungkin tim produksi udah menebak ini juga, jadi mereka tetap mengarahkan penonton untuk fokus ke jalan yang benar. Makanya, mereka menghadirkan penyelesaian konflik yang gak keluar dari jalur “film sebagai sarana edukasi” ke masyarakat. Karena karma is real, cui. Ada harga yang harus dibayar buat semua perbuatan, tsah tsadist wkwk.
Dan terakhir, casual watcher atau penggemar stand up comedy pasti semakin excited karena sepanjang film kamu bakal berasa kayak main game harta karun. Tiap ganti scene, ada aja komika (atau pasangan mereka) yang nongol sebagai cameo di dalemnya. Nilai plusnya, ketawanya bakal makin renyah bukan hanya karena jalan cerita yang emang mengarahkan ke sana, tapi juga karena kamu paham sama inside jokes mereka. Tapiiiii, gue rasa siapapun tetep akan bisa menikmati jalan ceritanya walau gak pernah sekalipun nonton bit stand up di SUCI. Try watch it and fight me.
Habis nonton, dijamin logat Batakmu bakal terasah drastis. Karena gue, begitu keluar bioskop, langsung berucap demikian, “Ih rame kali lah toiletnya.”
Bacanya pakai logat Batak kan?
| Jakarta, awal Februari 2024